Oleh: Sulaisi Abdurrazaq
Direktur LKBH IAIN Madura
“Barangsiapa menempatkan dirinya di tempat-tempat yang mencurigakan janganlah ia menyalahkan orang lain yang berburuk sangka kepadanya.”
(Ali bin Abi Thalib)
KISRUH Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) Pesantren Annuqayah tak kan berakhir kecuali memperoleh empat hal:
Pertama, menemukan seseorang yang mengajukan permohonan BOP atas nama An Nuqoyah Lubsa sehingga merugikan Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Lubangsa Guluk-Guluk. Kerugian paling terang adalah: dalam administrasi negara tercatat Ponpes fiktif yang jelas-jelas dapat merugikan uang negara.
Kedua, menemukan seseorang yang telah membuka rekening BNI atas nama An Nuqoyah Lubsa yang sejak awal digunakan untuk pengajuan dan pencairan BOP Pesantren.
Ketiga, apakah ada pihak Kemenag yang terlibat, jika ada, lalu siapa?.
Keempat, siapa saja sebenarnya di balik lima orang yang terlibat bernama: Jamaluddin, Marsuto, Anas alias Haitum, Amir Hamzah dan Afif?
Sesederhana itu yang kami cari, tapi hanya lima orang itu yang disebut oleh pelaku.
Kejahatan sudah jelas, masalah ini dapat diselesaikan lewat jalur hukum pidana. Tapi sebelum masalah ini benar-benar ketemu “otaknya”, bisa jadi pelaku yang terlihat itu hanya “pion” yang sengaja ditumbalkan.
Beberapa hari kedepan akan kami temui kembali pihak BNI dan Kemenag, sebab, menurut Petunjuk Teknis Kemenag, untuk memperoleh BOP Pesantren harus dilakukan verifikasi administrasi dan untuk mencairkannya wajib menunjukkan KTP asli serta akta asli di hadapan Bank berikut berkas-berkas lainnya.
Jika ternyata para pelaku memilih untuk tidak mengungkap empat hal di atas, maka bukan tidak mungkin dalam minggu ini kami naikkan ke ranah pidana agar penyidik yang mencari sendiri empat hal itu.
Masalah BOP Pesantren lima puluh juta terlalu kecil bagi Annuqayah untuk bertindak secara kolosal, karenanya, terdapat tiga langkah alternatif yang dapat ditempuh, baik bagi Annuqayah Daerah Lubangsa Guluk-Guluk maupun bagi Yayasan Sosial dan Dakwah Siratul Islam Por Dapor, yaitu:
Pertama, restorative justice_. Menurut pakar hukum pidana, Mardjono Reksodiputro dalam Jurnal Perempuan (2019), _restorative justice_ adalah pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka terhadap masalah korban.
Dalam konteks ini, pendekatannya adalah antara pelaku dengan korban dan masyarakat sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat. Sehingga pemulihan korban dapat diperoleh, baik moril (nama baik) maupun materiil.
Jika Annuqayah atau Yayasan Siratul Islam dirugikan, maka pelaku harus dapat memulihkan kerugian dan mengembalikan pada keadaan semula, pelaku tidak harus dipenjara.
Alternatif kedua, retributive justice,_ yaitu konsep penyelesaian perkara pidana dengan cara menghukum pelaku menurut hukum pidana. Jadi, retributive justice_ lebih fokus pada pelaku agar dihukum dan mengabaikan hak-hak korban.
Ketiga, distributive justice_, titik tekan alternatif ini hanya pada aspek pengembalian, cukup mengganti semua kerugian tanpa harus memulihkan nama baik korban dan tanpa menghukum pelaku.
Tiga alternatif tersebut di atas dapat saja diambil, kecuali pihak korban telah mengambil keputusan untuk mengambil jalan retributif.
Annuqayah Daerah Lubangsa dengan tegas akan mengambil langkah retributif jika empat hal tersebut pada awal tulisan ini tidak terungkap dan akan memaafkan apabila “otak” dan para pelaku bersikap kooperatif
(*).