Kolaborasi Berbasis Masyarakat sebagai Upaya Pencegahan Perilaku Pernikahan Dini

Kolaborasi Berbasis Masyarakat sebagai Upaya Pencegahan Perilaku Pernikahan Dini
Ririn Indah Permatasari

Kolaborasi Berbasis Masyarakat Sebagai Upaya Pencegahan Perilaku Pernikahan Dini

Oleh : Ririn Indah Permatasari
Mahasiswa Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada

______________________________

ARTIKEL – Perilaku pernikahan dini atau belakangan ini sering dikenal sebagai pernikahan anak merupakan pernikahan yang dilakukan pada anak di bawah usia 19 tahun. Usia pernikahan di Indonesia secara tertulis telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan, bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria berusia minimal 19 tahun dan pihak wanita minimal 19 tahun.

Menurut Deputi Perlindungan Khusus Anak, pernikahan anak merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak dan merupakan praktik yang melanggar hak-hak dasar anak yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak (KHA). Pernikahan anak juga memiliki kerentanan lebih besar untuk keterbatasan mengakses kebutuhan dasar anak seperti, pendidikan, kesehatan yang dalam jangka panjang berpotensi meneruskan kemiskinan antar generasi.

Data dari United Nations Children’s Fund (UNICEF) dalam laporan “Is An End To Child Marriage Within Reach?” yang diupdate pada tahun 2023 menunjukkan bahwa negara Indonesia menempati posisi 4 besar di bawah India, Bangladesh dan China untuk kasus pernikahan anak di bawah umur. Kabupaten Sumenep menjadi satu dari empat kabupaten di Madura yang mencatatkan angka pernikahan dini sangat tinggi pada tahun 2020.

Pada tahun berikutnya Kabupaten Sumenep berada pada peringkat ke 5 Perkawinan Usia Dini di Jawa Timur. Data dari Pemkab Sumenep, pada 2020 lalu, pernikahan di bawah umur mencapai 2.029 kasus. Kaitannya dengan kesehatan, beberapa penelitian menunjukkan korelasi pernikahan anak dengan risiko untuk menimbulkan kehamilan dan persalinan di usia dini yang selanjutnya menjadi faktor pemicu kejadian stunting.

Dari laporan UNFPA dalam “The Child Marriage Situation in Indonesia: an Overview”, pernikahan anak merupakan isu yang kompleks dan faktor yang diduga berpengaruh juga beragam, mulai dari faktor kemiskinan, geografi, kurangnya akses pendidikan, ketidaksetaraan gender, konflik social dan bencana, kurangnya layanan dan informasi lengkap tentang kesehatan reproduksi, norma sosial yang memperkuat stereotipe gender kondisi tertentu (misalnya, wanita harus menikah muda) dan budaya (agama dan interpretasi tradisi lokal).

Di Kabupaten Sumenep, tradisi dan budaya juga cukup erat mempengaruhi munculnya perilaku pernikahan pada usia anak. Hal ini menunjukkan bahwa solusi atas permasalahan pernikahan anak harus holistik, komprehensif, terencana serta sistematis.

Berbagai langkah pencegahan dan penekanan perilaku pernikahan dini pada anak yang melibatkan lintas sektor sudah mulai dilakukan di Kabupaten Sumenep. Perjanjian Kerja Sama antara Pengadilan Agama dan Dinas Kesehatan Kabupaten Sumenep yang berisi alur proses dispensasi umur pernikahan untuk pemohon menjadi salah satu strategi kolaborasi.

Sebelum melanjutkan permohonannya, pemohon akan mendapat edukasi terlebih dahulu dari pihak kesehatan. Namun, diperlukan juga di lini bawah mulai dari pemerintah desa untuk mencegah perilaku pernikahan di bawah umur dengan kolaborasi berbasis masyarakat, salah satunya melalui Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak.

Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) merupakan model desa yang dikembangkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk dapat menjawab 5 (lima) arahan Presiden. Salah satu arahannya adalah pencegahan perkawinan anak dan tentu indikatornya tidak terdapat kasus pernikahan anak di bawah 18 tahun. Model ini bisa menjadi salah satu strategi yang bisa diterapkan juga di Kabupaten Sumenep untuk pencegahan pernikahan anak berbasis masyarakat.

Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak juga merekomendasikan pemerintah desa bisa melalukan beberapa langkah seperti, melakukan sosialiasi pencegahan perkawinan anak secara berkala lewat dana desa bagi orang tua dan remaja. Kemudian, pengaktifan program konseling kesehatan reproduksi dan seksual bagi orang tua serta remaja juga bisa dilakukan dengan bekerja sama dengan tenaga kesehatan atau Puskesmas di lingkungan desa setempat. Peraturan desa yang memuat pencegahan pernikahan anak di bawah umur juga bisa menjadi langkah normatif oleh pemerintah desa.

Model strategi langkah ini memang tidak bisa memastikan akan mengubah perilaku pernikahan di bawah umur, terlebih di wilayah dengan norma sosial didasarkan pada kepercayaan budaya yang telah lama ada. Namun model dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat melalui Bounded Normative Influence Theory: membawa inovasi menjadi perubahan norma sosial yang baru (from innovation to social norm).

Sosialisasi pencegahan pernikahan di bawah umur pada masyarakat desa secara perlahan akan menuntun beberapa anggota yang sudah menerapkan pencegahan untuk menjadi pusat jaringan dan berkomunikasi lebih sering dan persuasif pada masyarakat lainnya. Harapannya adopsi inovasi tersebut akan menjadi dasar perencanaan peraturan desa terkait pencegahan pernikahan anak di bawah umur.

Exit mobile version