Opini  

Perlunya Menghormati dan Menghilangkan Kerenggangan, Karena Keragaman Budaya Adat Istiadat dan Agama

Avatar of news.Limadetik
Perlunya Menghormati dan Menghilangkan Kerenggangan, Karena Keragaman Budaya Adat Istiadat dan Agama
FOTO: Cahya Christiani Dwi Nugraha

OLEH : Cahya Christian Dwi Nugraha
NIM 226404010003
Universitas PGRI Kanjuruhan Malang

__________________________________

LIMADETIK.COM – Indonesia memiliki banyak suku bangsa dan agama di berbagai wilayah. Tentu saja keragaman budaya dan adat istiadat pasti tidak dapat dihindari apabila hidup bernegara di Indonesia. Pada Indonesia.go.id dikatakan bahwa Indonesia memiliki sekitar 1.340 suku bangsa menurut sensus BPS 2010, yang mana dari 1.340 suku bangsa ini disatukan dengan satu bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia.

Tidak hanya suku bangsa, Indonesia juga memiliki keragaman agama yang mana ada lima agama di Indonesia seperti Hindu, Budha, Islam, Kristen Protestan, dan Kristen Katolik. Hal ini membuat pergaulan di Indonesia sangat beragam karena banyak sekali perbedaan yang dipertemukan.

Perbedaan – perbedaan budaya dan istiadat pasti memiliki ciri khasnya sendiri dan setiap budaya memiliki hukumnya sendiri. Perlu sekali adanya pemahaman dasar akan masing – masing budaya agar dapat saling memahami satu dengan yang lainnya di negara Bineka Tunggal Ika ini.

Sayangnya, kecil kemungkinan bagi seseorang mau memahami ciri khas dasar dari sekitar 1.340 suku bangsa di Indonesia. Dari kecilnya kemungkinan orang dapat ataupun mau memahami budaya dan istiadat suku bangsa di Indonesia, banyak sekai terjadi kerenggangan sosial diantara suku bangsa di Indonesia.

Tidak hanya perbedaan budaya, perbedaan agamapun dapat menjadi suatu kerenggangan sosial diantara kita semua. Kita tahu bahwa sila pertama pada Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana mereka setiap orang Indonesia pasti memiliki satu agama. Dari sebuah agama yang dianut, pasti memiliki sebuah eksklusifitas sendiri yang mana hal ini tidak dapat diperdebatkan dari berbagai sudut pandang. Sayangnya ke-eksklusifitasan dari sebuah agama sering diperdebatkan di era globalisasi saat ini sehingga kerenggangan sosial semakin meningkat.

Setiap agama dan budaya pasti memiliki eksklusifitas tersendiri, tetapi di negara Indeonesia ini eksklusifitas dari suatu agama dan budaya tidak dapat diterapkan secara sepihak. Terutama saat suatu daerah memiliki sebuah eksklusifitas, mereka suku bangsa pendatang pastilah tertekan dan tersudutkan padahal mereka hidup di Tanah Air Indonesia berbasis negara nasional dan negara kesatuan.

Sebagaimana contoh suatu daerah mengklaim wilayah mereka adalah wilayah Islami yang mana melarang pengadaan gereja di sana. Eksklusifitas tersebut menjadikan mereka yang bukan muslim disana pasti tertekan dan tersudutkan karena hak – hak mereka yang sesuai dengan sila pertama dan sila kelima tidak terlaksana dengan baik.

Dalam pergaulan milenial sekarang, perbedaan budaya serta adat istiadat tidak dapat dihindari. Kita dapat melihat tersebut di dunia pendidikan seperti universitas yang mana suatu universitas tidak mungkin hanya memiliki mahasiswa satu suku bangsa saja.

Hal tersebut dikarenakan suatu universitas terutama universitas unggulan pastilah menjadi tempat impian seseorang untuk menempuh pendidikan yang lebih baik dan lebih berkelas, sehingga banyak calon mahasiswa dari segala penjuru suku bangsa di Indonesia ingin menempuh pendidikan di universitas impian mereka masing – masing.

Hal yang sering terjadi diawal masuknya perkuliahan adalah, para mahasiswa hanya berteman dengan yang satu suku bangsa dan enggan untuk menjalin hubungan dengan yang bukan satu suku dengan mereka. Pasti ada juga seorang mahasiswa ingin menjalin pertemanan dengan yang beda suku bangsa, tetapi karena perbedaan budaya (cara berbicara, bersikap, penyampaian ide, dan lain – lain) membuat mereka yang dari suku lain tidak nyaman dan enggan untuk menerima dia.

Jangankan beda suku bangsa, mereka yang satu suku bangsa tetapi berbeda asal wilayah memiliki sedikit perbedaan dan menimbulkan hal yang serupa. Memang tidak semua mahasiswa seperti ini, tapi kerenggangan karena beda suku bangsa sudah menjadi rahasia umum hampir diseluruh universitas.

Tidak hanya di universitas, dilingkup sosialpun selalu terjadi kerenggangan sosial antara suku, adat, dan agama di suatu wilayah. Sebagaimana contoh di suatu kompleks seorang warga tidak diperlakukan adil karena beda suku, agama, dan budaya. Dari perlakuan tersebut, akan terjadi perdebatan yang membawa kata nasionalisme, keadilan, adat, budaya, bahkan agama yang dapat menimbulkan perpecahan dan peningkatan kerenggangan sosial pada kompleks tersebut.

Dalam kasus kerenggangan sosial karena perbedaan suku, agama, dan budaya dipergaulan generasi milenial, perlu sekali diadakannya pemahaman untuk berpikir luas dan berpikir objektif. Berpikir luas yang dimaksud adalah pemikiran yang mewajarkan karena suatu perbedaan budaya, adat, serta agama dari individu, tatkala hal tersebut tidak dapat diperdebatkan dan dipermasalahkan.

Dari pemikiran tersebut pasti tercipta rasa menghormati perbedaan dan tercipta solusi untuk menghadapi perbedaan budaya, adat, serta agama secara damai dari berbagai pihak. Sedangkan berpikir objektif yang dimaksudkan adalah di saat menghadapi suatu individu tidak diperlukan adanya memandang suku, adat, dan agama karena kita di Indonesia hidup di negara nasional Bineka Tunggal Ika
Penting sekali pemahaman nasionalisme pada generasi milenial untuk mengatasi kerenggangan sosial.

Pemahaman nasionalisme tersebut menjadikan berbagai individu dari setiap suku bangsa, dan agama memiliki satu pemikiran dan dapat berpikir luas (open minded) dan berpikir objektif satu dengan lainnya di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari pemahaman nasionalisme, setiap individu juga pasti akan memahami bagaimana mereka menempatkan diri, bersikap, dan menghormati dari setiap perbedaan yang dialami secara langsung ataupun tidak langsung.

Sebagai contoh pentingnya berpikir luas (open minded) dan berpikir objektif dalam nasionalisme seperti kejadian perbedaan agama dan budaya agama tersebut. Sebagai Muslim, perlu sekali menghormati mereka yang bukan Muslim disaat mereka merayakan ibadah mereka sendiri. Tidak hanya segi ibadah, tetapi juga apa yang mereka makan (yang tentu saja ada makanan tidak halal).

Sebagai Muslim yang berpikir luas dan berpikir objektif dalam nasionalisme, tidak diperlukan mempermasalahkan perbedaan budaya dari suatu agama, dan tidak perlu mempermasalahkan juga usaha individu yang bukan muslim di bidang usaha makanan yang tidak halal.

Jadi disini saya menyimpulkan bahwa menghormati dan menghargai perbedaan dengan didasari paham nasionalisme sangat diperlukan di era globalisasi ini. Paham nasionalisme pun memerlukan cara berpikir luas dan berpikir objektif dalam menghadapi perbedaan suku bangsa, budaya, dan agama. Hal ini ditujukan agar tidak ada kerenggangan sosial serta radikalisme di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.