OLEH : Fhioreans Cindy Maulia Putri Andhini
Fakultas : Hukum
Universitas Muhammadiyah Malang
Email: sindiajaaa@gmail.com
________________________________
NEWS.LIMADETIK.COM – Pengertian dan Faktor Penyebab Tutur Sarkastik Sarkastik atau sarcastic berasal dari bahasa latin yang sebagai kata sifat yang berarti tajam. Sarkastik identik dengan kejam baik secara perkataan maupun perbuatan (Hardiati, 2018). Pada umumnya pengucapan sarkastik digunakan untuk menutupi kemarahan entah itu kepada diri sendiri ataupun pada subjek yang mendapat ucapan sarkas.
Kalimat yang mengandung sarkastik pada umumnya digunakan saat mengungkapkan kritik atas sesuatu yang dirasa tidak tepat atau tidak sesuai. Sarkastik sama halnya dengan sarkasme. Sarkasme dalam KBBI dimaknai sebagai ‘kata pedas untuk menyakiti lawan hati orang lain; cemoohan atau ejekan kasar’.
Hal ini berarti sarkasme berisi kata sindiran yang memang ditujukan untuk menyakiti orang lain (Nugrahani, 2014).
Sarkasme merupakan majas yang memiliki tingkatan lebih kasar dibandingkan dengan ironi dan sinisme, sarkasme mengandung lebih banyak kepahitan dan cemoohan yang menyakiti dan tidak enak didengar.
Tutur sarkastik merupakan sebuah kesengajaan penggantian fonem kata yang bermakna biasa dengan kata lain yang memiliki penyimpangan makna (kasar), dengan tujuan untuk mengatasi situasi tidak ramah dan mengungkapkan respon yang negatif (Nugrahani, 2017). Sarkasme juga merupakan salah satu topik pembelajaran dari cabang psikologi, namun dinyatakan masih sulit untuk diidentifikasi oleh manusia karena strukturnya yang belum jelas dan baku (Lanny Septiani, 2019).
Dalam beberapa penelitian, dinyatakan bahwa sarkasme menjadi suatu pencerminan fungsi kognitif yang baik. Sarkasme di sisi buruknya sebagai pemicu konflik karena menyakiti secara makna, tetapi juga memiliki sisi positif yaitu mempengaruhi kondisi kognitif seseorang. Disamping perannya sebagai pemicu konflik, sarkasme merupakan katalis yang baik untuk pengembangan kreativitas komunikasi. Mengapa demikian? Penggunaan sarkasme dalam berkomunikasi memang riskan dan memicu konflik, tetapi dengan menggunakan tuturan sarkastik merupakan cara membungkus cacian dengan cerdas agar kritikan yang disampaikan lebih tepat sasaran (Yusron, 2017).
Tidak bisa dipungkiri bahasa kasar berkembang begitu cepat dan sangat mudah untuk di serap semua kalangan masyarakat. Dalam beberapa situasi keadaan akan menyebabkan seseorang terpaksa menggunakan tutur sarkastik. Dari beberapa faktor itulah pada akhirnya tutur sarkastik keluar dari mulut seseorang. Ketika seorang individu menahan tekanan dari individu lain seketika ketika seseorang tidak mampu mengungkapkan emosinya, maka akan terlampiaskan dalam bentuk tutur sarkas, baik karena perselisihan pendapat ataupun membalas sarkasme yang ditujukan untuk dirinya.
Bercanda, menjadi faktor yang paling sering mengundang ucapan sarkastik. Pada saat seseorang melihat lingkungannya terlalu kaku atau serius ia mencoba memecahkan suasana dengan melontarkan tuturan sarkastik. Entah dengan candaan fisik, maupun candaan keras lainnya. Saat ini seringkali kata bercanda digunakan sebagai kedok dari ucapan sarkas. Ketidaksengajaan terkadang menjadi salah satu alasan untuk melontarkan kata kasar.
Karena perasaan kaget, secara spontan langsung saja terlontar dari individu. Ketika individu merasakan perubahan yang tidak diinginkannya dan merasa dibohongi. Pada umumnya secara spontan individu akan melontarkan umpatan yang menjadi salah satu contoh dari tindak tutur sarkastik.
Banyak hal lain yang juga mempengaruhi penggunaan tutur sarkastik, seperti lingkungan sekitar misalnya saja lingkungan pertemanan. Komunikasi yang diterapkan dalam pertemanan ikut terbawa pada lingkungan lainnya. Pengaruh lainnya yaitu berasal dari media sosial, manusia akan cenderung mengingatnya dan mulai melontarkannya pada hal serupa yang mereka alami seperti pada media sosial. (Rachmat, 2017).
Pengertian dan Faktor Penyebab Lemahnya Pendidikan Karakter
Karakter seringkali disamakan maknanya dengan akhlak, yaitu tentang cara berpikir dan berperilaku terkait poin benar dan salah dan nilai baik-buruk. Sehingga karakter yang akan muncul menjadi sebuah manifestasi dalam sikap dan perilaku untuk selalu melakukan hal yang berulang atau berkelanjutan.
Maka dari itu ketercapaiannya dapat dilihat melalui nilai moral yang bersifat universal. Sebagai aspek kepribadian, karakter pada umumnya mencerminkan kepribadian individu secara utuh, baik dari segi mentalitas, sikap, dan juga perilaku (Chairiyah, 2014).
Karakter bangsa merupakan salah satu dari sembilan unsur kekuatan nasional yang tak kasat mata (Intangible) suatu bangsa. Sebagai salah satu kekuatan nasional, karakter asli bangsa harus senantiasa dijaga dan direvitalisasi agar selalu menjadi inspirasi sebuah bangsa sebagai pengobar semangat agar suatu bangsa tetap bertahan.
Karakter bangsa menjadi tolak ukur penting dalam menilai keberhasilan bangsa dalam memajukan pendidikan nasional. Pendidikan nasional bertumpu pada tiga komponen, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan kata lain, pendidikan diartikan sebagai pembiasaan, pembelajaran, peneladanan, bukan sekedar penyekolahan. Sebagai sebuah konvensi, peradaban manapun percaya pembangunan karakter nasional merupakan bagian tak terpisahkan dari tujuan pembangunan nasional secara umum dan pembangunan bidang pendidikan secara khusus.
Saat ini Indonesia sedang dihadapkan pada permasalahan pelemahan karakter bangsa. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai persoalan bangsa yang gejalanya mulai nampak perlahan-lahan semenjak beberapa tahun terakhir. Jika tidak segera diatasi, persoalan ini dapat mengancam eksistensi dan keamanan bangsa Indonesia. Beberapa permasalahan akut yang sedang dihadapi bangsa Indonesia antara lain, lemahnya kepemimpinan nasional, lemahnya semangat juang (fighting spirit) generasi muda, tingginya tingkat korupsi dan krisis identitas.
Dampak yang ditimbulkan dari permasalahan ini bermacam-macam, misalnya ancaman disintegrasi, lemahnya daya saing Indonesia di tingkat internasional, terpuruknya image Indonesia di mata dunia. Berbagai persoalan yang menyelimuti bangsa ini menimbulkan pertanyaan: bagaimanakah pendidikan di Indonesia diselenggrakan sehingga menghasilkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang secara umum belum siap bersaing di era liberalisasi?.
Peran pendidikan di Indonesia hanya parsial dengan penekanan pada pengembangan aspek kognitif, sehingga hasil pendidikan tidak memiliki korelasi dengan sikap maupun perilaku peserta didik. Pendidikan dianggap tidak memberikan kontribusi signifikan pada pembentukan karakter bangsa sesuai dengan core values (Syaiful Anwar, 2019).
Terdapat beberapa perihal yang jadi pemicu penyimpangan karakter, sehingga pemerintah merasa butuh untuk ‘membangkitkan kembali’ pembelajaran karakter di sekolah: Metode pembelajaran yang tidak sesuai, tidak dipungkiri, metode pembelajaran sekolah di Indonesia pada umumnya sangat membosankan dan cenderung tidak bervariasi. Padahal menurut penelitian, siswa yang belajar dengan hanya mendengarkan penjelasan guru, akan sedikit sekali menyerap informasi.
Sehingga, jika nilai-nilai karakter itu ditransfer kepada siswa melalui ceramah, kecil kemungkinan akan tertanam di dalam otaknya, apalagi diaplikasikan dalam kehidupan.
Serbuan budaya asing yang begitu pesat sehingga sanggup menghancurkan benteng moral serta agama para generasi kita. Budaya asing yang bisa jadi kurang sesuai, dipakai serta ditiru begitu saja tanpa melewati filter. Sehingga budaya yang baik serta yang tidak baik bercampur apalagi mendominasi serta melenyapkan budaya asli (Chairiyah, 2014)